Berhenti bekerja saat karir mulai
menanjak adalah keputusan sulit. Namun terus bekerja juga dilema. Perasaan itu
dulu menghantuiku. Ibu, satu-satunya yang membantuku mengurus anak mendadak
sakit. Dokter menyarankan agar ibu tidak mengangkat beban berat, termasuk
menggendong bayi.
Bagaimana aku membantu suami mencari
uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecil kami, ibu sekaligus ibu mertua
yang berstatus janda? Belum lagi cicilan rumah yang baru kami ajukan beberapa
tahun.
Aku pun berhenti bekerja.
Suami mendukung keputusanku. Toh, dia juga masih bekerja. Rezeki memang tak
pernah tertukar.
Aku dan suami justru bisa melunasi angsuran rumah yang kami cicil selama 15 tahun. Dananya dari program pensiun yang kuikuti selama aktif bekerja ditambah tabungan kami. Tak berapa lama kemudian aku pun dikaruniai anak kedua.
Aku dan suami justru bisa melunasi angsuran rumah yang kami cicil selama 15 tahun. Dananya dari program pensiun yang kuikuti selama aktif bekerja ditambah tabungan kami. Tak berapa lama kemudian aku pun dikaruniai anak kedua.
Meski mengurusi rumah tangga, namun
hasrat ingin memiliki penghasilan tambahan terus menggusikku untuk berbuat
sesuatu. Aku mulai menjajal kemampuanku. Membuat bolu pandan dan es lilin dari
sari buah segar untuk dijual. Bangganya saat semua itu menghasilkan pundi-pundi
rupiah. Pesanan melimpah, padahal aku tak memiliki keahlian memasak sebelumnya.
Sayangnya itu tak bertahan lama.
Kondisi fisikku tak kuat mengerjakan semuanya. Apalagi aku tak dibantu asisten
rumah tangga, semua kukerjakan sendiri. Penyakit tipes membuatku berhenti. Tapi
aku, masih terus memikirkan peluang usaha lainnya.
Aku tak boleh diam, kalau tidak
aku bisa tenggelam, kalimat itu mengiang di telinga. #BeraniLebih menciptakan
usaha. Sampai akhirnya aku menemukan peluang, yaitu membuka kursus membaca
untuk anak usia TK dan SD. Kusulap kamar kosong di lantai dua rumah kami yang
sangat sederhana menjadi ruang belajar yang menyenangkan.
Kupasang sepanduk besar di teras rumahku. Malu rasanya saat tetangga membacanya kemudian tertawa cekikikan. Kuberanikan diri keliling kompleks untuk membagikan brosur ke sekolah-sekolah. Sedihnya saat mengetahui brosur yang baru saja kubagikan langsung dibuang orang tua murid. Tapi aku harus bergerak untuk menjemput rezekiku. Lagi-lagi kalimat itu menyemangatiku.
Kupasang sepanduk besar di teras rumahku. Malu rasanya saat tetangga membacanya kemudian tertawa cekikikan. Kuberanikan diri keliling kompleks untuk membagikan brosur ke sekolah-sekolah. Sedihnya saat mengetahui brosur yang baru saja kubagikan langsung dibuang orang tua murid. Tapi aku harus bergerak untuk menjemput rezekiku. Lagi-lagi kalimat itu menyemangatiku.
Dukungan penuh dari suami, doa
ibu yang tiada putus ditambah ketekunan akhirnya membuahkan hasil. Satu per
satu anak-anak tetangga berdatangan untuk belajar membaca. Aku mengajari mereka
sepenuh hati. Mereka kemudian merekomendasikan tempat kursusku kepada kerabat
dan sahabat lainnya. Satu kebangganku adalah saat aku berhasil mengajari anakku membaca.
Selain mengajarkan cara membaca,
aku juga bisa menulis buku panduan belajar membaca yang kini dijual bebas di
toko buku nasional. Aku tidak menyesali keputusanku, dan semua hal yang telah
kulakukan dengan penuh kesungguhan. Meski kegagalan kerap menyapa, aku tak kan
mudah takluk. Teruslah berbuat, dan bergerak, kawan! Kau pun pasti bisa.
***
Facebook; https://www.facebook.com/dwi.d.rahmawati.1
Twitter ; @rahmawati1607
Twitter ; @rahmawati1607
Tidak ada komentar:
Posting Komentar